Minggu, 26 Mei 2013

PANTASKAH KARTINI JADI PANUTAN???

Kartini dan pluralisme agama


Setiap tahun pada tanggal 21 April pemerintah memperingati Hari Kartini. Peringatan ini merujuk pada sosok Raden Ajeng Kartini (1879-1904), anak priyai Jawa yang dianggap sebagai pelopor kemajuan perempuan Indonesia.

Hampir setiap tahun, peringatan ini diiringi dengan berbagai kegiatan, terutama kegiatan-kegiatan yang mengusung tema emansipasi wanita. Kalangan liberal pun tak mau ketinggalan, peringatan Hari Kartini dijadikan momen untuk mengampanyekan kesetaraan gender, feminisme, dan emansipasi perempuan. Kartini pun menjadi idola wanita Indonesia.

Padahal, jika mau jujur pada kenyataan sejarah, tanpa menihilkan gagasan-gagasannya, apa yang dilakukan oleh Kartini baru sebatas surat menyurat, sebatas wacana, belum pada tingkatan aksi, seperti yang lebih dulu dilakukan oleh Rohana Kudus di Sumatera Barat, dengan mendirikan sekolah untuk memajukan pendidikan perempuan.

Surat menyurat Kartini yang dianggap berisi gagasan-gagasan tentang kemajuan perempuan pribumi, diterbitkan oleh Kartini Fonds, sebuah lembaga yang dibentuk di negeri Belanda. Kumpulan surat-surat Kartini yang dibukukan dan diberi judul “Door Duisternis tot Licht” kemudian diterbitkan pada 1917, 14 tahun pasca wafatnya Kartini pada 1904. Kumpulan surat tersebut kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane, sastrawan penganut Theosofi dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.



Sebagian isi surat surat Kartini, terutama tentang kondisi kebatinan dan pemahaman kegamaannya, sangat beraroma pluralisme.
Kartini bahkan pernah mengatakan, bahwa agama sesungguhnya adalah kebatinan. Tak ada data-data dan keterangan yang jelas, bahwa di akhir hayatnya, Kartini mengoreksi pemahamannya yang sangat bercorak Theosofi.

Meskipun di akhir hayatnya, dalam rentang waktu pada 1903, ia mengaku bertemu dan belajar agama dengan seorang kiai di Demak yang bernama Kiai Sholeh Darat. Pertemuan dengan kiai itu pun berlangsung singkat, karena pada tahun yang sama sang kiai meninggal dunia. Dan, setahun kemudian Kartini menyusul meninggal dunia pula.

Jika merujuk pada pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat dan pengakuan Kartini bahwa ia baru mengenal Al-Qur’an setelah bertemu dengan kiai tersebut, maka rentang waktu ia mengenal Al-Qur’an dan belajar keislaman hanya berlangsung setahun.Jauh sebelum itu, pikiran-pikiran Kartini dan pemahaman keagamaannya sangat kental dengan nuansa kebatinan Theosofi, sebuah aliran kebatinan yang didirikan oleh perempuan berdarah Yahudi, Helena Petrovna Blavatsky.

Setelah bertemu dengan kiai itu, sekali lagi, tak ada keterangan bahwa ia mengoreksi pemahamannya yang bercorak sinkretisme atau pluralisme agama sebagaimana tercermin dalam surat-suratnya.
Sebagai seorang Muslim tentu kita berharap, Kartini meninggal dalam keadaan sempurna keislamannya, tanpa ada lagi noda-noda pemahaman yang mengganggap semua agama sama. Namun, fakta sejarah bahwa surat-surat yang ditulisnya sangat mengandung ajaran pluralisme agama, harus tetap diungkapkan.

Tujuannya, agar sosok Kartini yang dijadikan pahlawan nasional bisa terlihat utuh, dan selubung sejarah bisa tersingkap secara terang. Setelah itu, silakan kejujuran masyarakat yang menilai.
Kartini mengaku dalam surat-suratnya, ada orang yang hendak mengajaknya menjadi penganut Theosofi dan ada juga yang mengatakan dirinya secara sadar atau tidak, adalah penganut Theosofi.

“Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902)

“Pagi harinya kami pergi ke Semarang, di tram kami mendengar banyak, dan apa yang kami alami malam itu, akan kami ceritakan kepada Nyonya kemudian dengan panjang lebar, sekarang itu kami lewati dengan diam-diam. Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902.

Berikut ini surat-surat Kartini yang sangat kental dengan pemahaman kebatinan Theosofi yang mengusung doktrin humanisme dan pluralisme agama:
Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).

“Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain.” (Surat 31 Januari 1903).
“Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E.C Abendanon, 31 Januari 1903)

“Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa” (Surat kepada Dr N Adriani, 5 Juli 1903)

“Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).

“Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.”(Surat kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902).

“Selama kami maklumi dan mengerti bahwa ujud semua agama itu baik dan bagus adanya. Tetapi, aduhai, manusia apa jadinya agama itu, kalau perbuatan agama dimaksudkan untuk mempertarikan semua makhluk-makhluk Allah yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat, perempuan ataupun laki-laki. Agama mana yang dipeluknya, semuanya kita ini adalah anak kepada Bapak Yang Satu itu juga, kepada Tuhan Yang Maha Esa.” (Surat kepada Nyonya Nielle van Koll, 21 Juli 1902).

Demikian diantara beberapa surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya. Surat-surat tersebut mencerminkan betapa kuatnya pengaruh Theosofi, yang pada kurun waktu 1900-an sangat berpengaruh di lingkungan elit dan para priyai Jawa.Surat-surat tersebut mendapat pujian dari Ny. Eleanor Roosevelt, istri Presiden AS, Franklin D Roosevelt, yang juga anggota Ordo East Star, sebuah sayap organisasi Freemason yang membolehkan wanita sebagai anggotanya. Pada masa lalu, ordo ini juga begitu kuat pengaruhnya di Hindia Belanda, dengan nama Order Oost Ster (Ordo Bintang Timur).

Tahun 1979, dalam rangka memperingati 100 tahun wafatnya Kartini, Ny. Eleanor Roosevelt menulis sambutan yang berisi pujian terhadap surat-surat Kartini berikut ini:

“Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini katakan: Kami merasa bahwa inti dari semua agama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah dan sedangkan gadis yang muda ini menyadari bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu.”
*Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Kamis, 23 Mei 2013

AKU PRAJA IPDN DAN INILAH KODE KEHORMATANKU










KODE KOHORMATAN PRAJA

Kami Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri adalah:

  • Kader aparatur pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
  • Berjiwa pamong yang  mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa kepada pemerintah Republik Indonesia
  • Sebagai putra Bangsa yang siap mengabdi dan rela berkorban, senantiasa bekerja keras dan pantang menyerah dalam pelaksanaan tugas untuk kepentingan bangsa dan negara
  • Dapat dipercaya, berdisiplin bertanggung jawab, pembela kebenaran/ keadilan dan kejujuran
  • Insan berilmu yang berkemauan dan berkemampuan serta andalan dalam mengisi kemerdekaan. 

Kamis, 16 Mei 2013

sejarah tapak suci


sejarah tapak suci
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, Kiyai Haji (K.H.) Syuhada pada tahun 1872 memiliki seorang putera yang diberi nama Ibrahim. Sejak kecil ia menerima ilmu pencak dari ayahnya. Ibrahim tumbuh menjadi Pendekar yang menguasai pencak ragawi dan batin / inti tetapi sekaligus Ulama yang menguasai banyak ilmu, kemudian berganti nama menjadi K.H. Busyro Syuhada.
Pada awalnya K.H.Busyro Syuhada mempunyai 3 murid, yaitu :
  • Achyat ( adik misan ), yang kemudian dikenal dengan K.H. Burhan
  • M.Yasin ( adik kandung ), yang dikenal dengan K.H. Abu Amar Syuhada
  • Soedirman, yang dikemudian hari mencapai pangkat Jenderal dan pendiri Tentara 
Nasional Indonesia, bahkan bergelar Panglima Besar Soedirman.
Pada tahun 1921 di Yogyakarta, bertemulah K.H. Busyro Syuhada dengan kakak beradik Ahmad Dimyati dan Muhammad Wahib. Dalam kesempatan itu mereka adu ilmu pencak antara M. Wahib dan M. Burhan. Kemudian A. Dirnyati dan M. Wahib dengan pengakuan yang tulus  mengangkat K.H. Busyro Syuhada sebagai guru dan mewarisi ilmu pencak dari K.H. Busyro Syuhada yang kemudian menetap di Kauman. Menelusuri jejak gurunya, Ahmad Dimyati mengembara ke barat sedang M. Wahib mengembara ketimur sampai ke Madura untuk menjalani adu kaweruh ( uji ilmu ). Pewaris ilmu banjaran, mewarisi juga sifat-sifat gurunya M. Wahib sebagaimana K.H. Busyro Syuhada, bersifat keras, tidak kenal kompromi, suka adu kaweruh. Untuk itu sangat menonjol nama M. Wahib dari pada  A. Dimyati. Sedang A. Dimyati yang banyak dikatakan ilmunya lebih tangguh dari pada adiknya M. Wahib tetapi karena pendiam dan tertutup maka tidak banyak kejadian-kejadian yang dialami. Sebagaimana M. Burhan yang mempunyai sifat dan pembawaan sama dengan A. Dimyati.
K. H. Busyro Syuhada pernah menjadi guru pencak untuk kalangan bangsawan dan keluarga Kraton Yogyakarta. Salah satu diantara muridnya adalah R.M. Harimurti, seorang pangeran kraton, yang dikemudian hari beberapa muridnya mendirikan perguruan–perguruan pencak silat yang beraliran Harimurti.
Kauman, Seranoman dan Kasegu
Pendekar Besar KH Busyro Syuhada memberi wewenang kepada pendekar binaannya, A. Dimyati dan M. Wahib untuk membuka perguruan dan menerima murid. Perguruan baru yang didirikan pada tahun 1925 itu diberi nama Perguruan "Kauman", yang beraliranBanjaran.
Perguruan Kauman mempunyai peraturan bahwa murid yang telah selesai menjalani pendidkan dan mampu mengembangkan ilmu pencak silat diberikan kuasa untuk menerima murid.
M. Syamsuddin yang menjadi murid kepercayaan Pendekar Besar M..Wahib diangkat sebagai pembantu utama; dan dizinkan menerima murid. Kemudian mendirikan perguruan ”Seranoman".  Perguruan Kauman menetapkan menerima siswa baru, setelah siswa tadi lulus menjadi murid di Seranoman. Perguruan Seranoman melahirkan pendekar muda Moh. Zahid, yang juga lulus menjalani pendidikan di perguruan Kauman. Moh. Zahid yang menjadi murid angkatan ketiga (3) bahkan berhasil pula mengembangkan pencak silat yang berintikan kecepatan; kegesitan, dan ketajaman gerak. Tetapi murid ketiga ini pada tahun 1948, wafat pada usia yang masih sangat muda. Tidak sempat mendirikan perguruan baru tetapi berhasil melahirkan murid, Moh. Barie lrsjad.
Pendekar Besar KH Busyro Syuhada berpulang ke Rahmatullah pada bulan Ramadhan 1942. Pendekar Besar KH Busyro Syuhada bahkan tidak sempat menyaksikan datangnya perwira Jepang, Makino, pada tahun 1943 yang mengadu ilmu beladirinya dengan pencak silat andalannya. Makino mengakui kekurangannya dan menyatakan menjadi murid Perguruan Kauman sekaligus menyatakan masuk Islam kemudian berganti nama menjadi Omar Makino. Pada tahun 1948 Pendekar Besar KH Burhan gugur bersama dengan 20 muridnya dalam pertempuran dengan tentara Belanda di barat kota Yogyakarta. Kehilangan besar pesilatnya menjadikan perguruan Kauman untuk beberapa sa’at berhenti kegiatannya dan tidak menampakkan akan muncul lagi Pendekar. Moh. Barie lrsjad sebagai murid angkatan keenam (6) yang dinyatakan lulus dari tempaan ujian Pendekar M. Zahid, M. Syamsuddin, M. Wahib dan A. Dimyati kemudian dalam perkembangan berikutnya mendirikan perguruan "Kasegu"
Kalau perguruan-perguruan sebelumnya diberi nama sesuai dengan tempatnya. Perguruan Kasegu diberikan nama sesuai dengan senjata yang diciptakan oleh Pendekar Moh. Barie Irsjad.
Lahirnya Tapak Suci
Moh. Barie lrsjad akhirnya mengeluarkan gagasan agar semua aliran Banjaran yang sudah berkembang dan terpecah-pecah dalam berbagai perguruan, disatukan kembali ke wadah tunggal.
Pendekar Besar M. Wahib merestui berdirinya satu Perguruan yang menyatukan seluruh perguruan di Kauman. Restu diberikan dengan pengertian Perguruan nanti adalah kelanjutan dari Perguruan Kauman yang didirikan pada tahun 1925 yang berkedudukan di Kauman.
Pendekar M. Wahib mengutus 3 orang muridnya. dan M. Syamsuddin mengirim 2 orang muridnya untuk bergabung. Maka Pendekar M. Barie Irsjad bersama sembilan anak murid menyiapkan segala sesuatunya untuk mendirikan Perguruan.
Dasar-dasar perguruan Kauman yang dirancang oleh Moh. Barie lrsjad, Moh. Rustam Djundab dan Moh. Djakfal Kusuma menentukan nama Tapak Suci. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dikonsep oleh Moh Rustam Djundab. Do’a dan lkrar disusun oleh H. Djarnawi Hadikusuma. Lambang Perguruan diciptakan oleh Moh. Fahmie Ishom, lambang Anggota diciptakan oleh Suharto Suja', lambang Regu Inti "Kosegu" diciptakan Adjib Hamzah. Sedang bentuk dan warna pakaian dibuat o!eh Moh. Zundar Wiesman dan Anis Susanto.
Maka pada tanggal 31 Juli 1963 lahirlah Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suc

Rabu, 15 Mei 2013

my education : SEJARAH TARUNG DERAJAT

my education : SEJARAH TARUNG DERAJAT: SEJARAH TARUNG DERAJAT Seni Ilmu Olah Raga Bela Diri  Tarung Derajat  dideklarasikan kelahirannya dibumi persada Indonesia tercinta

SEJARAH BERDIRINYA IPDN


SEJARAH BERDIRINYA IPDN SAMPAI SEKARANG

Berawal dari didirikannya Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di MalangJawa Timur1 Maret berdasarkan SK Mendagri No.Pend. 1/20/565 tanggal 24 September 1956 dengan Direktur Pertama dr. Raspio Woerjadiningrat. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kader aparatur pemerintah di tiap daerah, maka sejak tahun 1965 satu demi satu didirikan APDN di berbagai provinsi dan pada tahun telah berdiri 20 APDN di seluruh Nusantara, lokasi-lokasi APDN tersebut adalah di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Tanjung Karang, Bandung, Semarang, Malang, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Manado, Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Ambon, Jayapura.
Sampai dengan tahun pendidikan 1991 yaitu tahun alumnus berakhimya operasi APDN di daerah-daerah telah menghasilkan 27.910 orang, yang penempatannya tersebar di 27 Propinsi. Kini para alumninya sudah mengembangkan diri untuk pendidikan selanjutnya dan pada umumnya sudah menduduki jabatan teratas di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Untuk menyamakan pola pendidikan APDN dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 1988 tentang Pembentukan APDN yang bersifat Nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang Jawa Barat. Dalam proses perkembangan selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden No.42 Tahun 1992, yang mengubah APDN menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri disingkat menjadi STPDN. Bagi lulusan Program D-IV STPDN berhak menyandang gelar “SSTP” (“Sarjana Sains Terapan Pemerintahan”). Lulusan atau alumni STPDN diharapkan memiliki tiga kompetensi dasar yaitu:
  • Kepemimpinan (Leadership),
  • Kepelayanan (Stewardship),
  • Kenegarawanan (Statemanship).
Setelah terjadi kasus kekerasan pada praja Wahyu Hidayat yang menyebabkannya meninggal dunia, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri akhirnya memutuskan melebur Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dalam wadah baru bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2005. Perubahan yang diatur Keppres Nomor 87/2004 tentang Penggabungan STPDN dan IIP dan Permen Dalam Negeri No. 29 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN, sebenarnya sudah dirancang sejak 1998 karena ada aturan yang membatasi setiap departemen hanya memiliki satu pendidikan kedinasan.
Pada 10 Oktober 2007, IPDN kembali diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), namun IIP yang baru ini tidak akan hanya mempunyai kampus di Jatinangor, melainkan juga di beberapa daerah lain seperti Bukittinggi (Sumatera Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pekanbaru (Riau), Manado (Sulawesi Utara) IIP juga akan berbeda dari IPDN dari segi sistem pendidikannya, meskipun pada saat keputusan perubahan ini diambil sistem pendidikan yang baru tersebut belum diatur secara terinci

SEMOGA BERMANFAAT

SEJARAH TARUNG DERAJAT



SEJARAH TARUNG DERAJAT


Seni Ilmu Olah Raga Bela Diri Tarung Derajat dideklarasikan kelahirannya dibumi persada Indonesia tercinta, di Bandung 18 Juli 1972 oleh peciptanya seorang putra bangsa yaitu Guru Haji Achmad Dradjat yang memiliki nama julukan dengan panggilan Aa Boxer. Nama panggilan Aa Boxer diterapkan dan melekat pada diri Achmad Dradjat, setelah dirinya mampu dan berhasil menggunakan dan menerapkannya Seni Pembelaan Diri karya ciptanya didalam berbagai bentuk perkelahian, dimana butuh dan harus BERKELAHI atau BERTARUNG dalam rangka BERJUANG untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menegakan kehormatan dan membela kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari selaras dengan kodrat hidupnya.
Jadi sebenarnya keberadaan Tarung Derajat itu adalah identik dengan perjalanan dan perjuangan G.H.Achmad Dradjat yang juga dikenal dengan julukan Aa Boxer dan kini bergelar "SANG GURU TARUNG DERAJAT".
Perjalanan dan Perjuangan hidup Achmad Dradjat dimulai sejak kelahirannya diatas muka bumi ini, Sang Guru Tarung Derajat dilahirkan di Garut 18 Juli 1951 dari pasangan Bapak dan Ibu H.Adang Latif dan Hj.Mintarsih dalam suasana sedang terjadi pertempuran melawan gerombolan pemberontak yang dikenal dengan sebutan kelompok Darul Islam (D.I), dalam penyerangan tersebut kedua orang tua Achmad Dradjat sebagai Aktivis Pejuang Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang setelah pasca kemerdekaan menjadi anggota Polisi Istimewa, menjadi salah satu sasaran operasi dari penyerangan Gerombolan tersebut. Berkat kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dapat selamat dari peristiwa itu dan saat itulah Sang Guru lahir dalam keadaan sehat, ditengah kejaran para pemberontak. Peristiwa tersebut telah mengilhami kedua oranng tua Sang Guru memberikan nama DARAJAT (DRADJAT / DERAJAT), yang berarti Berkat yaitu suatu Rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa yang membawa atau mendatangkan kebaikan pada kehidupan manusia, seperti keselamatan dan kesehatan hidup atau kesejahteraan hidup atau juga sebagai harkat dan martabat hidup manusia. Sejalan dan seiring dengan nilai-nilai riwayat Perjalanan & Perjuangan hidup yang dilakukan Sang Guru Achmad Dradjat alias Aa Boxer dalam menciptakan dan melahirkan Ilmu Bela Diri secara Alami, Mandiri, dan Tersendiri serta kejadian-kejadian hidup yang terjadi selalu dinikmati dengan totalitas berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tindakan-tindakan yang Realistis dan Rasional, dari hasil perjuangan hidup PRIBADI seperti itu, mencuat sebuah nama untuk diterapkan pada Seni Ilmu Olah Raga Bela Diri Karya Ciptanya, yaitu : "TARUNG DERAJAT." (Tarung, Bertarung adalah Berjuang dan Derajat adalah Harkat martabat kemanusiaan)
Pada usia balita Achmad Dradjat pindah ke Bandung mengikuti perjalanan dinas kedua orang tuanya, tinggal di kawasan Tegallega suatu daerah yang keras dan berpenduduk sangat heteorogin dengan segala perilaku hidupnya yang dinamis. Situasi dan kondisi seperti itu sangat ditunjang dengan keberadaan sebuah lapangan sangat luas yang beraktivitas hampir 24 jam , berbagai macam bentuk kegiatan hidup terjadi dilapangan tersebut, seperti: berbagai kegiatan olah raga, perkealahian masal antar kelompok pemuda remaja, pemerasan, perampokan perjudian, pelacuran, dlsb yang berbau kriminalitas dan kemaksiatan serta dalam waktu-waktu tertentu bisa dan biasa juga dipakai untuk kegiatan kemasyarakatan lainnya oleh seluruh kalangan masyarakat Bandung khususnya dan apabila sesuatu tindak kekerasan terjadi, tidak jarang masyarakat setempat yang berperilaku hidup baik-baik kerap menjadi korban tindak kekerasan, kejadian tindak kekerasan tersebut tidak terkecuali sering juga dialami oleh sosok remaja Achmad Dradjat.
Bagi Achmad Dradjat yang sejak masa anak-anak mempunyai postur tubuh lebih kecil dibanding dengan sesama anak lainnya dan sangat menggemari olah raga keras, seperti sepak bola dan beladiri, selain itu dirinya yang berkarakter berani dan ulet, menjadikan hidup dan dibesarkan dilingkungan seperti itu memiliki arti dan tantangan yang tersendiri.
Berbekal didikan Akhlak Budi pekerti dan Ajaran Agama yang diterapkan kedua orang tua dan tertanam serta terpelihara secara ketat dan berdisiplin sejak masa kecil. Aa, demikian dipanggil dalam lingkungan keluarganya (Aa adalah suatu panggilan dalam bahasa daerah sunda bagi anak laki yang tertua atau yang dituakan) mulai memasuki lingkungan yang keras, bermacam cara datang dan terjadi perekelahian antar kelompok maupun perorangan, pemerasan serta berbagai bentuk tindak kekerasan lain.
Dalam lingkungan demikian sifat pemberani dan keinginan menolong teman yang dimilikinya, seringkali membuat Aa mengalami berbagai tindak kekerasan, perklelahian demi perkelahian harus ia lalui walau lebih sering kalah dari pada menangnya, dengan segala keuletan yang didasari oleh hasil didikan Akhlak dan ajaran Agama yang terus melekat, dirinya mampu meng hadapi dan mengatasi berbagai rintangan hidup setahap demi setahap secara pasti, hingga pada usia 13 tahun tindak kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda remaja dan manusia lain yang tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab nyaris merenggut jiwanya.
Bagaimana tidak, peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan yang dialaminya itu terjadi ditengah keramaian orang-orang yang hanya bisa menjadi penonton dan sebagian lainya hanya mampu menjadi penganiaya, dalam keadaan seperti itu Achmad Dradjat dituntut harus mampu bertahan hidup dalam kesendirian, bukan mempertahankan diri sampai lupa diri. Sesungguhnya dari kenyataan peristiwa tersebut sangat disadri hanya kerena Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang menghendaki nasib lain sehingga Aa dapat terselamatkan dari nasib yang lebih buruk lagi.
Kejadian serupa terjadi dialami Achmad Dradjat pada saat belajar latihan beladiri secara resmi sebagai anggota suatu perkumpulan beladiri, dalam peristiwa tersebut dirinya dipaksa untuk berkelahi menggunakan teknik yang berlaku di beladiri itu sendiri melawan anggota senior yang bertubuh jauh lebih besar, dengan demikian Achmad Dradjat yang baru belajar dasar-dasar teknik perkelahian tidak mampu berbuat banyak selain bertahan diri, disaksikan anggota senior lain, pelatih dan guru besarnya yang ada diruang latihan lainnya. Achmad Dradjat dengan teknik yang terbatas tadi seluruh badannya penuh dengan luka memar, namun demikian tidak ada fikiran dan rasa dari penyaksi termasuk guru besarnya untuk bertindak, menghentikan dan menyelamatkan perkelahian. Dalam kesendirian sosok remaja Achmad Dradjat kembali harus berjuang diri mempertahankan keselamatan dan kesehatan hidupnya.
Dari perkelahian ke perkelahian itulah Achmad Dradjat secara alami dirinya tertempa dan terlatih untuk menjawab tantangan hidup yang keras dan dari kerasnya kehidupan yang dialami sifat fisik dan sikap mentalnya terbina dan terbiasa untuk menerima kenyataan hidup secara realistis dan rasional. Kemampuan itu dimiliki karena pada dasarnya, setiap mahluk hidup telah dibekali kemampuan gerak reflek untuk bertahan hidup. Pikiran, rasa, dan keyakinan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masanya dan terbayangi sepanjang usia, baik kejadian itu berupa musibah maupun anugerah, pengalaman tersebut pada dasarnya adalah bagian dari proses pembelajaran dan pelatihan otot, 0tak serta nurani untuk menentukan arah hidup yang lebih baik menuju pada kehidupan yang benar selaras dengan kodratnya.
Berbagai macam kejadian dan pengalaman hidup yang terjadi dalam lingkup pembelaan diri yang berasal dan mengandalkan dari gerak reflek dan dorongan naluri ,insting atau garizah yang terus terjadi secara berulang tersebut, mengasah otot, otak serta nuraninya untuk terbiasa menghadapi berbagai ancaman dan terlatih untuk menjawab tantangan hidup, yang berupa menjaga keselamatan dan kesehatan diri, menegakkan dan mempertahankan kehormatan serta membela kemanusiaan.
Bersamaan dengan itulah proses penciptaan gerak dan jurus dibentuk dan diuji dari perkelahian. Proses ini disempurnakan melalui suatu penempaan diri, baik secara fisik maupun mental dengan cara yang tersendiri dan mandiri. Gerakan tubuh yang kemudian menjadi jurus ini, seluruhnya didasari gerak reflek yang alamiah.
Dari penempaan praktis ini gerakan tubuh yang tercipta manjadi sangat efektif bagi suatu pembelaan diri. Gerakan dan jurus serta metode latihan didasari kemampuan alamiah. Semua ini sebenarnya dimiliki semua manusia sebagai fitrah dan bisa dikembangkan secara mandiri, inilah yang mendasari lahirnya sebuah prinsip hidup Tarung Derajat "Jadikanlah Dirimu oleh Diri Sendiri."
Hingga menginjak usia pemuda remaja, Achmad Dradjat telah menunjukan kemampuaan dan keunggulan dalam menghadapi berbagai tindak kekerasan dan perkelahian. Achmad Dradjat juga menularkan kemampuan beladirinya pada rekan-rekan dekat dan masyarakat lain yang membutuhkannya, yang sebagian besar memintanya untuk menjadi "Guru." Akhirnya, pada tanggal 18 juli 1972 diikrarkan pendirian Perguruan Tarung Derajat yang menjadi tanda utama resminya kelahiran Ilmu Olah Raga Seni Ilmu Pembelaan Diri karya cipta Achmad Dradjat.
Gelar "SANG GURU" menjadi sebuah panggilan kehormatan dan penghargaan sekaligus sebagai Saripati Jati Dirinya dari apa yang diperjuangkannya dalam menciptakan ILmu Olah Raga Seni Pembelaan Diri TARUNG DERAJAT bagi murid-murid dan Perguruan Pusat Tarung Derajat.
SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 05 Mei 2013

Makna Lambang Institut Pemerintahan Dalam Negeri


Makna Lambang Institut Pemerintahan Dalam Negeri 





  1. Bintang warna kuning melambangkan Pancasila
  2. Kapas warna putih melambangkan keadilan
  3. Daun kapas warna hijau melambangkan kesejukan dan ketentraman
  4. Padi warna kuning melambangkan kemakmuran.
  5. Kombinasi bunga kapas dan daunnya berjumlah 17 melambangkan tanggal Proklamasi 17 Agustus 1945 berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  6. Padi berjumlah 45 bermakna tahun kemerdekaan Republik Indonesia 1945.
  7. Roda kemudi melambangkan pemerintahan.
  8. Delapan jari roda kemudi melambangkan bulan lahirnya Proklamasi, dan melambangkan 8 penjuru angin yang dimaknai sebagai ke wilayahan, pemerintahan daerah dan Bhinneka Tunggal Ika.
  9. Lambang yang berbentuk kelopak bunga lotus (teratai), bermakna kearifan.
  10. Buku melambangkan sumber pengetahuan.
  11. Warna biru laut yang mendasari lambang dimaknai sebagai tanggungjawab, ketangguhan, ketenangan dan inovasi yang tinggi.
  12. Angka 2004 melambangkan tahun berdirinya IPDN.
  13. Among, melaksanakan fungsi pamong yang berarti mengasuh dan mengemong menurut sistem among : Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani.
  14. Praja artinya Peserta Didik (termasuk mahasiswa) IPDN.
  15. Dharma artinya melaksanakan kewajiban, peraturan, kebenaran.
  16. Kata-kata : Among Praja Dharma Nagari secara keseluruhan berarti IPDN mengemong Praja supaya setia pada kewajiban untuk mengabdi kepada Bangsa dan Negara.

Jumat, 03 Mei 2013

FILOSOFI KAMPUS INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (JATINANGOR)



 FILOSOFI KAMPUS INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (JATINANGOR)


AWAL PEMBANGUNAN




         Biaya untuk membangun gerbang ini sampai 2 milyar, berbentuk kerucut yang dibelah menjadi 4 bagian. Di tengah- tengah bangunan ini terdapat patung praja dan wanita praja. Mahalnya cost untuk membangun gerbang ini bukan tanpa arti, bangunan berbentuk kerucut ini melambangkan gunung yang di dalamnya terdapat kawah panas yang membara, menggambarkan layaknya legenda ramayana Gatutkaca yang pernah digodok dalam kawah candradimuka hingga melahirkan sosok ksatria yang kuat, berjiwa besar, berpegang teguh pada prinsip, menolong sesama, dan berani membela kebenaran sehingga tempat ini disebut KESATRIAN (tempat para ksatria), bukan dengan sebutan kampus. Jadi dari awal ketika saya menginjakkan kaki di kesatrian ini, sudah diperingatkan bahwa di sini bukan tempat untuk bermanja- manja, bermain, berenjoy- enjoy melainkan harus siap digembleng, ditempa, digodok, melepaskan atribut sebagai anak bupati, gubernur bahkan jendral sekalipun untuk menjadi sosok Satrio Piningit, para kader aparatur negara yang diharapkan menjadi birokrat dan negarawan di masa yang akan datang. Namanya digodok, tentu panas, melelahkan, sakit, tidak semua bisa bertahan, dan tentu bukan merupakan tempat yang nyaman di bumi ini. Yang awal- awalnya saat masih duduk di bangku SMA masih culun, gagap, banci, jalan kaya putri solo, pengecut, penakut, mental tempe, krempeng, gak berbentuk layaknya kucing kelaparan, setelah mengalami proses di sini,keluar gerbang wajib berubah menjadi Singa yang buas tapi baik hati.








 Gunung Manglayang

TAMPAK PUNCAK MANGLAYANG DARI DEPAN
            Puncaknya bisa disaksikan dengn jelas tatkala kita berdiri di depan gerbang . Jadi seakan- akan kesatrian ini berkiblat ke arah gunung manglayang, karena masih berada di area pegunungan maka kesatrian ini memiliki kemiringan 10- 15 derajat sekaligus merupakan keunikan tersendiri yang menjadikan kampus ini pernah menyandang gelar sebagai kampus termegah se Asia Tenggara. Bagi yang tidak terbiasa olah raga, dipersilahkan berjalan saja (gak usah lari) memutari 1 ksatrain, pasti encok, reumatik  pegelinunya kumat. Karena terletak di kaki Manglayang, maka Kesatrian IPDN sering disebut kawah candra dimuka lembah Manglayang. Ketinggian Manglayang sekitar 1800 mdpl ini sering digunakan oleh praja dalam berbagai wahana kegiatan, salah satunya agenda Pembaretan (Pengambilan Baret)  dan pengambilan Lencana Korps Praja setiap tahunnya. Puncak aslinya terlatak di belakang puncak bayangan yang tampak pada gambar, ketika ditarik garis lurus, maka akan menunjukkan sejajar dari gerbang sampai puncak manglayang. Filosofinya adalah Praja harus mempunyai cita- cita yang tinggi dan harus dapat mencapai puncak dari apa yang menjadi harapan dan amanat negara.


Kesatrian Berbentuk Pena


TAMPAK DARI ATAS
            Bila dilihat dari satelit maka akan tampak seperti gambar berikut. Kesatrian seluas 280 hektar ini memang sudah dirancang sedemikian rupa, menggambarkan senjata seorang pamong dalam bertugas adalah pena dalam artian melalui kebijakan, keberanian untuk menetapkan keputusan dan cerdas dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Melihat kondisi sekarang, musuh kita tidak menjajah dengan fisik, senapan dan sebagainya melainkan dengan belenggu ekonomi, moral, diplomasi, budaya, gaya hidup yang sudah tidak sesuai dengan ideologi kita. Maka filosofi pena di sini adalah tugas pokok Praja adalah belajar, menuntut ilmu setinggi- tingginya tentang berbagai macam kebutuhan negara baik di masa sekarang maupun masa depan. Sistem pendidikan di IPDN terdiri dari 3 aspek, yaitu pengajaran, pelatihan dan pengasuhan.
            Aspek pengajaran yaitu transfer knowledge, seperti halnya perkuliahan di universitas lain. Materi yang dipelajari mencakup segala macam aspek pendukung pemerintahan mulai dari ekonomi, keuangan, politik, kebijakan dll dengan prinsip generalis bukan specialis dengan harapan praja mengetahui segala aspek pemerintahan dan siap ditempatkan dalam segala bidang pemerintahan.
            Aspek Pelatihan yaitu transfer skill. Selain tau teori, Praja harus ahli dalam prakteknya.
            Aspek Pengasuhan yaitu penanaman sikap kepamongan mulai dari loyal, disiplin, respect, sigap, tanggap, berani, jujur, kepemimpinan ASTHA BRATA, kerapian performance dan berdedikasi. Semua unsur tadi mendapat penilaian dari pihak pengasuh/ pembina. Terdapat reward untuk yang berprestasi dan punishment yang mendidik bagi Praja yang melakukan kesalahan.
            Ketiga aspek tadi masing- masing memiliki nilai dan setiap semester nilai tadi diterbitkan. Total dari SKS yang harus ditempuh praja selama 4 tahun adalah 254 SKS. Melihat bobroknya mental oknum pejabat di Indonesia, banyak yang pintar tapi tidak tau arah, diharapkan Praja bisa menciptakan pembaharuan dalam birokrasi, berpegang teguh pada prinsip prinsip tidak hanya pintar tapi terlebih mempunyai sikap dan akhlak yang baik.


Pohon dan Bendera Serba Berjumlah 17 di Sekitar Lapangan Parade
            







           Kenapa 17?...Pasti semua dapat menebak,,,,,,ya anda betul sekali. Angka keramat yang menunjukkan tanggal kemerdekaan Negara Indonesia.


Kelapa Sawit Yang Tertanam di Sekitar Jalan Protokol dan Anak Tangga

            Berjumlah 45 buah tertanam rapi dan rindang sebagai peneduh bagi siapa saja yang berjalan di bawah naungannya. Dan jumlah anak tangga di seluruh kesatrian IPDN berjumlah 1945 buah. Siapa yang mau membuktikan, dengan senang hati silakan hitung mulai dari jumlah anak tangga semua barak, Set Bawah, Tangga Seribu, Gedung Nusantara dan Balairung.



Pohon Cemara di Plasa Mensa

            Karena bulan kemerdekaan kita adalah Agustus, tentu jumlahnya ada 8 buah. Jadi kalau digabung mulai dari bendera, kelapa sawit, anak tangga dan pohon pinus, menunjukkan hari proklamasi Indonesia yang sangat bersejarah yaitu 17 Agustus 1945.



 “Bhineka Nara Eka Bhakti”


DI GEDUNG GRHA WYATA PRAJA
            Bhineka yang berarti keanekaragaman, terbukti dengan hadirnya berbagai macam suku etnis, budaya, agama, warna kulit dari sabang sampai merauke bisa ditemui di IPDN. Hampir setiap putra daerah perwakilan  kabupaten se Indonesia ada, mulai dari abang, mas, uni, mbakyu, mpok, akang, kakak, daeng lengkaplah sudah. Kita akan tau kemajemukan, watak, sifat dan keunikan rekan- rekan se Indonesia . Maka bisa dikatakan miniaturnya Indonesia adalah IPDN, mana ada kampus di Indonesia selengkap ini hayo, inilah lem perekat bangsa, diharapkan nantinya ketika Praja bertugas, bisa menjadi pelopor garda terdepan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI bersama Taruna Akabri dan Akpol, peningkatan nasionalisme dan merekatkan kembali sendi- sendi kelemahan di daerahnya yang merupakan titik pecahnya persatuan dan kesatuan. Kalau ingin belajar memimpin Indonesia, bisa di implementasikan di kampus ini, tidak semua sejalan dengan pemikiran kita, kadang ribet juga. Lawong sesama suku saja masih sering terjadi salah faham, apalagi memimpin orang yang memiliki latar belakang berbeda. Maka dari itu, tidah mudah bisa memimpin Indonesia tapi tidak ada yang tidak mungkin. Keberagaman bukanlah merupakan suatu kelemahan, tapi harus dapat dijadikan suatu power bagi bangsa ini. Maka semboyan “Bhineka nara eka Bhakti” mempunyai filosofi keaneka ragaman, tapi satu pengabdian untuk Indonesia.



Abdi Praja, Dharma Satya, Nagara Bhakti

ABDI PRAJA

NAGARA BHAKTI

BALAIRUNG JENDRAL RUDINI

            Tulisan semboyan ini terpampang jelas dan besar di samping kanan kiri lapangan parade. Setiap praja harus tulus mengabdi, dengan ikhlas menyerahkan jiwa raganya untuk setia dan berbakti kepada negara Indonesia.



Lapangan Parade

LAPANGAN PARADE
            Rumputnya memang kualitas 1, tapi jangan salah, ini bukan lapangan sepak bola melainkan tempat yang sakral untuk menanamkan, memupuk dan pembinaan mental, fisik, kejuangan dan kebangsaan. Lapangan parade ini biasa digunakan untuk upacara, peringatan hari besar, penyambutan tamu negara dan apel – apel tertentu. Hijau rumput ini menjadi saksi bisu tangis haru para lulusan IPDN saat dilantik Presiden RI dari masa ke masa menjadi Pamong Praja Muda.




Tangga Seribu


TANGGA SERIBU

RUANG KELAS BERADA DI SAMPING TANGGA SERIBU

NAMA KELAS BERUPA NAMA KERAJAAN
GEDUNG NUSANTARA
            Membentang dari Lapangan Parade hingga gedung nusantara. Tapi tangga ini bukan untuk dilewati karena terdapat filosofi nilai perjuangan bangsa Indonesia yang harus dihormati. Ada doktrin dari senior, “Bila kamu melewati tangga ini satu langkah, maka kamu harus mundur 2 langkah”. Intinya tangga ini dibuat bukan untuk dilewati melainkan tempat sakral yang mengingatkan tentang bagaimana sulitnya merebut kemerdekaan. Tepat di samping tangga ini terdapat kelas di mana nama- nama kelas adalah mencerminkan nama kerajaan se Indonesia yang berusaha menyatukan seluruh bagian di Indonesia dan berjuang melawan penjajahan. Mulai nama kerajaan besar Majapahit, Mataram, Sriwijawa, Padjajaran, Kutai, Kediri, Demak sampai kerajaan kecil seperti Kutamaya, Bone, Trenggano dll. Kelas ini berjajar mengiringi tangga seribu sampai atas menuju gedung nusantara sebagai puncaknya. Sehingga mengandung maksud kemerdekaan Indonesia ini melalui perjuangan yang sangat panjang, lama, penuh penderitaan, kesengsaraan rakyat, dan tidak mudah. Perlawanan terhadap penjajah dari berbagai penjuru daerah dan kerajaan hingga akhirnya tercapailah cita- cita leluhur kita, satu kesatuan yaitu “Nusantara”.



Nama Barak adalah “Nusantara”


            Terdapat 33 barak (asrama) sebagai tempat tinggal Praja. Untuk membedakan barak satu dengan lainnya diberi nama Nusantara 1 – Nusantara 33. Dalam satu barak diacak dan terdapat perwakilan tiap provinsi se Indonesia sehingga diharapkan terjadi integrasi, bisa memahami karakter, sifat, watak dan perilaku budaya di Indonesia. Proses Integrasi ini tidaklah mudah, kalau hanya kenalan semua pasti bisa. Tapi kalau sampai pada tahap memahami, saling menolong, Ambeg Paramaarta (mendahulukan kepentingan umum di atas pribadi)  memerlukan proses dan waktu. Maka selalu ditanamkan yang dinamakan korsa (satu sepenanggungan) agar terjadi kesatuan dan rasa saling memiliki antar sesama.
semoga bermanfaat