Jumat, 14 Juni 2013

DARI MANA KAH ASAL USUL NAMA ACEH?

DARI MANA KAH ASAL USUL NAMA ACEH?






Semua orang kenal Aceh. Provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera ini sangat dikenal dengan adat istiadat dan kekayaan alamnya. Konon katanya provinsi ini pun dikenal sebagai provinsi yang masyarakatnya sangat taat beribadah. Benarkah itu? Silakan Anda teliti sendiri!Sebenarnya banyak hal yang belum diketahui dari Aceh. Provinsi ini seolah menyimpan misteri yang tampaknya tak akan habis diungkap sampai dengan akhir zaman nanti. Banyak orang ingin menyingkap misteri tentang Aceh. Bukan hanya masyarakat Aceh itu sendiri, melainkan juga masyarakat luar Aceh. Mereka tampaknya sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Aceh. Bukti dari ketertarikan mereka tentang Aceh adalah adanya semacam usaha untuk mengungkap misteri-misteri tentang Aceh itu.Salah satu misteri yang tampaknya belum terpecahkan sampai dengan sekarang adalah perihal asal mula nama Aceh. Konon katanya nama Aceh merupakan singkatan dari Arab, Cina, Endia (India), Hindia Belanda. Akan tetapi, singkatan-singkatan ini tampaknya tidak memiliki sumber yang jelas.Sebenarnya berkaitan dengan nama Aceh ini banyak ahli yang telah melakukan penelitian. Salah satu ahli yang tertarik meneliti tentang Aceh adalah Denis Lombard.Berkaitan dengan nama Aceh, Lombard menyebutkan bahwa nama Aceh baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma Oriental yang dikarang di Malaka sekitar tahun 1950 oleh Tomé Pires yang berkebangsaan Portugis. Lombard selanjutnya mengatakan bahwa kata Aceh dieja Achei. Beberapa tahun kemudian, dalam buku yang ditulis oleh Barros yang berjudul Da Asia disebutkan bahwa pengejaan kata Aceh dengan Acheitelah mengalami perubahan yang berbentuk adanya penyengauan bunyi pada akhir kata, yaitu Achem. Penyengauan bunyi ini juga terdapat dalam naskah-naskah Eropa abad 16, 17, dan 18. Di dalam naskah-naskah Eropa pada abad-abad ini kata Acehdieja Achin dan Atchin.Dalam sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, kata Aceh ditulisAcih. Lombard mengungkapkan bahwa penulisan kata Aceh dengan Acih adalah penulisan yang sangat tepat jika ditinjau secara ilmiah. Dalam hal ini, Lombard memberikan alasan sebagai berikut.Sesuai dengan sistem tranksripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, penulisan kata Acehlebih tepat ditulis Acih. Tulisan ini memang yang paling baik mengungkapkan ucapannya dewasa ini. Setiap fonem dicatat dengan satu huruf saja, dan huruf lebih baik daripada huruf untuk mencatat huruf hidup kedua yang ucapannya sangat mendekati /i/….Selanjutnya, sekitar akhir abad ke-19, menjelang peperangan yang bakal menumpahkan darah di seluruh bagian utara Sumatra, nama tanah Aceh dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yag membentang dari ujung utara pulau itu sampai dengan suatu garis khayal yang menghubungkan Tamiang di pantai Timur dengan Barus di Pantai Barat. Menurut Snouck Hurgronje, penduduknya membandingkan bentuk wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segi tiga itu dengan bentuk jeuèe(tampah tradisional).Selain misteri tentang nama Aceh, provinsi ini juga juga masih menyimpan misteri perihal asal mula bahasa Aceh. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa Campa yang sampai sekarang masih digunakan di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina. Adanya hubungan bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa Campa yang ada di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina tampaknya cukup beralasan. Berdasarkan catatan sejarah, seorang pangeran dari Campa, Šah Pu Liaŋ (liŋ) diusir dari ibukotanya oleh bangsa Vietnam. Ia lalu mencari perlindungan di Aceh, lalu membentuk wangsa baru (Lombard, 2007:62). Tentu saja pembentukan wangsa baru ini sangat berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Aceh sebagai alat komunikasi mereka.Ada juga para ahli yang menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, seperti bahasa Arab, Melayu, Indonesia, Sanskrit, Persia, Tamil, Belanda, Portugis, Inggris dan dari bahasa Mon-Khmer di Asia Tenggara.Penjelasan di atas membuktikan bahwa Aceh sebetulnya sejak dulu telah memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa luar. Hal ini tentu saja tak dapat dipungkiri apalagi jika kita mengingat Aceh yang pada masa Sultan Iskandar Muda pernah mencapai puncak kejayaannya.

Minggu, 26 Mei 2013

PANTASKAH KARTINI JADI PANUTAN???

Kartini dan pluralisme agama


Setiap tahun pada tanggal 21 April pemerintah memperingati Hari Kartini. Peringatan ini merujuk pada sosok Raden Ajeng Kartini (1879-1904), anak priyai Jawa yang dianggap sebagai pelopor kemajuan perempuan Indonesia.

Hampir setiap tahun, peringatan ini diiringi dengan berbagai kegiatan, terutama kegiatan-kegiatan yang mengusung tema emansipasi wanita. Kalangan liberal pun tak mau ketinggalan, peringatan Hari Kartini dijadikan momen untuk mengampanyekan kesetaraan gender, feminisme, dan emansipasi perempuan. Kartini pun menjadi idola wanita Indonesia.

Padahal, jika mau jujur pada kenyataan sejarah, tanpa menihilkan gagasan-gagasannya, apa yang dilakukan oleh Kartini baru sebatas surat menyurat, sebatas wacana, belum pada tingkatan aksi, seperti yang lebih dulu dilakukan oleh Rohana Kudus di Sumatera Barat, dengan mendirikan sekolah untuk memajukan pendidikan perempuan.

Surat menyurat Kartini yang dianggap berisi gagasan-gagasan tentang kemajuan perempuan pribumi, diterbitkan oleh Kartini Fonds, sebuah lembaga yang dibentuk di negeri Belanda. Kumpulan surat-surat Kartini yang dibukukan dan diberi judul “Door Duisternis tot Licht” kemudian diterbitkan pada 1917, 14 tahun pasca wafatnya Kartini pada 1904. Kumpulan surat tersebut kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane, sastrawan penganut Theosofi dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.



Sebagian isi surat surat Kartini, terutama tentang kondisi kebatinan dan pemahaman kegamaannya, sangat beraroma pluralisme.
Kartini bahkan pernah mengatakan, bahwa agama sesungguhnya adalah kebatinan. Tak ada data-data dan keterangan yang jelas, bahwa di akhir hayatnya, Kartini mengoreksi pemahamannya yang sangat bercorak Theosofi.

Meskipun di akhir hayatnya, dalam rentang waktu pada 1903, ia mengaku bertemu dan belajar agama dengan seorang kiai di Demak yang bernama Kiai Sholeh Darat. Pertemuan dengan kiai itu pun berlangsung singkat, karena pada tahun yang sama sang kiai meninggal dunia. Dan, setahun kemudian Kartini menyusul meninggal dunia pula.

Jika merujuk pada pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat dan pengakuan Kartini bahwa ia baru mengenal Al-Qur’an setelah bertemu dengan kiai tersebut, maka rentang waktu ia mengenal Al-Qur’an dan belajar keislaman hanya berlangsung setahun.Jauh sebelum itu, pikiran-pikiran Kartini dan pemahaman keagamaannya sangat kental dengan nuansa kebatinan Theosofi, sebuah aliran kebatinan yang didirikan oleh perempuan berdarah Yahudi, Helena Petrovna Blavatsky.

Setelah bertemu dengan kiai itu, sekali lagi, tak ada keterangan bahwa ia mengoreksi pemahamannya yang bercorak sinkretisme atau pluralisme agama sebagaimana tercermin dalam surat-suratnya.
Sebagai seorang Muslim tentu kita berharap, Kartini meninggal dalam keadaan sempurna keislamannya, tanpa ada lagi noda-noda pemahaman yang mengganggap semua agama sama. Namun, fakta sejarah bahwa surat-surat yang ditulisnya sangat mengandung ajaran pluralisme agama, harus tetap diungkapkan.

Tujuannya, agar sosok Kartini yang dijadikan pahlawan nasional bisa terlihat utuh, dan selubung sejarah bisa tersingkap secara terang. Setelah itu, silakan kejujuran masyarakat yang menilai.
Kartini mengaku dalam surat-suratnya, ada orang yang hendak mengajaknya menjadi penganut Theosofi dan ada juga yang mengatakan dirinya secara sadar atau tidak, adalah penganut Theosofi.

“Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902)

“Pagi harinya kami pergi ke Semarang, di tram kami mendengar banyak, dan apa yang kami alami malam itu, akan kami ceritakan kepada Nyonya kemudian dengan panjang lebar, sekarang itu kami lewati dengan diam-diam. Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902.

Berikut ini surat-surat Kartini yang sangat kental dengan pemahaman kebatinan Theosofi yang mengusung doktrin humanisme dan pluralisme agama:
Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).

“Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain.” (Surat 31 Januari 1903).
“Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E.C Abendanon, 31 Januari 1903)

“Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa” (Surat kepada Dr N Adriani, 5 Juli 1903)

“Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).

“Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.”(Surat kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902).

“Selama kami maklumi dan mengerti bahwa ujud semua agama itu baik dan bagus adanya. Tetapi, aduhai, manusia apa jadinya agama itu, kalau perbuatan agama dimaksudkan untuk mempertarikan semua makhluk-makhluk Allah yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat, perempuan ataupun laki-laki. Agama mana yang dipeluknya, semuanya kita ini adalah anak kepada Bapak Yang Satu itu juga, kepada Tuhan Yang Maha Esa.” (Surat kepada Nyonya Nielle van Koll, 21 Juli 1902).

Demikian diantara beberapa surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya. Surat-surat tersebut mencerminkan betapa kuatnya pengaruh Theosofi, yang pada kurun waktu 1900-an sangat berpengaruh di lingkungan elit dan para priyai Jawa.Surat-surat tersebut mendapat pujian dari Ny. Eleanor Roosevelt, istri Presiden AS, Franklin D Roosevelt, yang juga anggota Ordo East Star, sebuah sayap organisasi Freemason yang membolehkan wanita sebagai anggotanya. Pada masa lalu, ordo ini juga begitu kuat pengaruhnya di Hindia Belanda, dengan nama Order Oost Ster (Ordo Bintang Timur).

Tahun 1979, dalam rangka memperingati 100 tahun wafatnya Kartini, Ny. Eleanor Roosevelt menulis sambutan yang berisi pujian terhadap surat-surat Kartini berikut ini:

“Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini katakan: Kami merasa bahwa inti dari semua agama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah dan sedangkan gadis yang muda ini menyadari bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu.”
*Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Kamis, 23 Mei 2013

AKU PRAJA IPDN DAN INILAH KODE KEHORMATANKU










KODE KOHORMATAN PRAJA

Kami Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri adalah:

  • Kader aparatur pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
  • Berjiwa pamong yang  mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa kepada pemerintah Republik Indonesia
  • Sebagai putra Bangsa yang siap mengabdi dan rela berkorban, senantiasa bekerja keras dan pantang menyerah dalam pelaksanaan tugas untuk kepentingan bangsa dan negara
  • Dapat dipercaya, berdisiplin bertanggung jawab, pembela kebenaran/ keadilan dan kejujuran
  • Insan berilmu yang berkemauan dan berkemampuan serta andalan dalam mengisi kemerdekaan. 

Kamis, 16 Mei 2013

sejarah tapak suci


sejarah tapak suci
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, Kiyai Haji (K.H.) Syuhada pada tahun 1872 memiliki seorang putera yang diberi nama Ibrahim. Sejak kecil ia menerima ilmu pencak dari ayahnya. Ibrahim tumbuh menjadi Pendekar yang menguasai pencak ragawi dan batin / inti tetapi sekaligus Ulama yang menguasai banyak ilmu, kemudian berganti nama menjadi K.H. Busyro Syuhada.
Pada awalnya K.H.Busyro Syuhada mempunyai 3 murid, yaitu :
  • Achyat ( adik misan ), yang kemudian dikenal dengan K.H. Burhan
  • M.Yasin ( adik kandung ), yang dikenal dengan K.H. Abu Amar Syuhada
  • Soedirman, yang dikemudian hari mencapai pangkat Jenderal dan pendiri Tentara 
Nasional Indonesia, bahkan bergelar Panglima Besar Soedirman.
Pada tahun 1921 di Yogyakarta, bertemulah K.H. Busyro Syuhada dengan kakak beradik Ahmad Dimyati dan Muhammad Wahib. Dalam kesempatan itu mereka adu ilmu pencak antara M. Wahib dan M. Burhan. Kemudian A. Dirnyati dan M. Wahib dengan pengakuan yang tulus  mengangkat K.H. Busyro Syuhada sebagai guru dan mewarisi ilmu pencak dari K.H. Busyro Syuhada yang kemudian menetap di Kauman. Menelusuri jejak gurunya, Ahmad Dimyati mengembara ke barat sedang M. Wahib mengembara ketimur sampai ke Madura untuk menjalani adu kaweruh ( uji ilmu ). Pewaris ilmu banjaran, mewarisi juga sifat-sifat gurunya M. Wahib sebagaimana K.H. Busyro Syuhada, bersifat keras, tidak kenal kompromi, suka adu kaweruh. Untuk itu sangat menonjol nama M. Wahib dari pada  A. Dimyati. Sedang A. Dimyati yang banyak dikatakan ilmunya lebih tangguh dari pada adiknya M. Wahib tetapi karena pendiam dan tertutup maka tidak banyak kejadian-kejadian yang dialami. Sebagaimana M. Burhan yang mempunyai sifat dan pembawaan sama dengan A. Dimyati.
K. H. Busyro Syuhada pernah menjadi guru pencak untuk kalangan bangsawan dan keluarga Kraton Yogyakarta. Salah satu diantara muridnya adalah R.M. Harimurti, seorang pangeran kraton, yang dikemudian hari beberapa muridnya mendirikan perguruan–perguruan pencak silat yang beraliran Harimurti.
Kauman, Seranoman dan Kasegu
Pendekar Besar KH Busyro Syuhada memberi wewenang kepada pendekar binaannya, A. Dimyati dan M. Wahib untuk membuka perguruan dan menerima murid. Perguruan baru yang didirikan pada tahun 1925 itu diberi nama Perguruan "Kauman", yang beraliranBanjaran.
Perguruan Kauman mempunyai peraturan bahwa murid yang telah selesai menjalani pendidkan dan mampu mengembangkan ilmu pencak silat diberikan kuasa untuk menerima murid.
M. Syamsuddin yang menjadi murid kepercayaan Pendekar Besar M..Wahib diangkat sebagai pembantu utama; dan dizinkan menerima murid. Kemudian mendirikan perguruan ”Seranoman".  Perguruan Kauman menetapkan menerima siswa baru, setelah siswa tadi lulus menjadi murid di Seranoman. Perguruan Seranoman melahirkan pendekar muda Moh. Zahid, yang juga lulus menjalani pendidikan di perguruan Kauman. Moh. Zahid yang menjadi murid angkatan ketiga (3) bahkan berhasil pula mengembangkan pencak silat yang berintikan kecepatan; kegesitan, dan ketajaman gerak. Tetapi murid ketiga ini pada tahun 1948, wafat pada usia yang masih sangat muda. Tidak sempat mendirikan perguruan baru tetapi berhasil melahirkan murid, Moh. Barie lrsjad.
Pendekar Besar KH Busyro Syuhada berpulang ke Rahmatullah pada bulan Ramadhan 1942. Pendekar Besar KH Busyro Syuhada bahkan tidak sempat menyaksikan datangnya perwira Jepang, Makino, pada tahun 1943 yang mengadu ilmu beladirinya dengan pencak silat andalannya. Makino mengakui kekurangannya dan menyatakan menjadi murid Perguruan Kauman sekaligus menyatakan masuk Islam kemudian berganti nama menjadi Omar Makino. Pada tahun 1948 Pendekar Besar KH Burhan gugur bersama dengan 20 muridnya dalam pertempuran dengan tentara Belanda di barat kota Yogyakarta. Kehilangan besar pesilatnya menjadikan perguruan Kauman untuk beberapa sa’at berhenti kegiatannya dan tidak menampakkan akan muncul lagi Pendekar. Moh. Barie lrsjad sebagai murid angkatan keenam (6) yang dinyatakan lulus dari tempaan ujian Pendekar M. Zahid, M. Syamsuddin, M. Wahib dan A. Dimyati kemudian dalam perkembangan berikutnya mendirikan perguruan "Kasegu"
Kalau perguruan-perguruan sebelumnya diberi nama sesuai dengan tempatnya. Perguruan Kasegu diberikan nama sesuai dengan senjata yang diciptakan oleh Pendekar Moh. Barie Irsjad.
Lahirnya Tapak Suci
Moh. Barie lrsjad akhirnya mengeluarkan gagasan agar semua aliran Banjaran yang sudah berkembang dan terpecah-pecah dalam berbagai perguruan, disatukan kembali ke wadah tunggal.
Pendekar Besar M. Wahib merestui berdirinya satu Perguruan yang menyatukan seluruh perguruan di Kauman. Restu diberikan dengan pengertian Perguruan nanti adalah kelanjutan dari Perguruan Kauman yang didirikan pada tahun 1925 yang berkedudukan di Kauman.
Pendekar M. Wahib mengutus 3 orang muridnya. dan M. Syamsuddin mengirim 2 orang muridnya untuk bergabung. Maka Pendekar M. Barie Irsjad bersama sembilan anak murid menyiapkan segala sesuatunya untuk mendirikan Perguruan.
Dasar-dasar perguruan Kauman yang dirancang oleh Moh. Barie lrsjad, Moh. Rustam Djundab dan Moh. Djakfal Kusuma menentukan nama Tapak Suci. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dikonsep oleh Moh Rustam Djundab. Do’a dan lkrar disusun oleh H. Djarnawi Hadikusuma. Lambang Perguruan diciptakan oleh Moh. Fahmie Ishom, lambang Anggota diciptakan oleh Suharto Suja', lambang Regu Inti "Kosegu" diciptakan Adjib Hamzah. Sedang bentuk dan warna pakaian dibuat o!eh Moh. Zundar Wiesman dan Anis Susanto.
Maka pada tanggal 31 Juli 1963 lahirlah Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suc

Rabu, 15 Mei 2013

my education : SEJARAH TARUNG DERAJAT

my education : SEJARAH TARUNG DERAJAT: SEJARAH TARUNG DERAJAT Seni Ilmu Olah Raga Bela Diri  Tarung Derajat  dideklarasikan kelahirannya dibumi persada Indonesia tercinta

SEJARAH BERDIRINYA IPDN


SEJARAH BERDIRINYA IPDN SAMPAI SEKARANG

Berawal dari didirikannya Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di MalangJawa Timur1 Maret berdasarkan SK Mendagri No.Pend. 1/20/565 tanggal 24 September 1956 dengan Direktur Pertama dr. Raspio Woerjadiningrat. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kader aparatur pemerintah di tiap daerah, maka sejak tahun 1965 satu demi satu didirikan APDN di berbagai provinsi dan pada tahun telah berdiri 20 APDN di seluruh Nusantara, lokasi-lokasi APDN tersebut adalah di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Tanjung Karang, Bandung, Semarang, Malang, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Manado, Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Ambon, Jayapura.
Sampai dengan tahun pendidikan 1991 yaitu tahun alumnus berakhimya operasi APDN di daerah-daerah telah menghasilkan 27.910 orang, yang penempatannya tersebar di 27 Propinsi. Kini para alumninya sudah mengembangkan diri untuk pendidikan selanjutnya dan pada umumnya sudah menduduki jabatan teratas di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Untuk menyamakan pola pendidikan APDN dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 1988 tentang Pembentukan APDN yang bersifat Nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang Jawa Barat. Dalam proses perkembangan selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden No.42 Tahun 1992, yang mengubah APDN menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri disingkat menjadi STPDN. Bagi lulusan Program D-IV STPDN berhak menyandang gelar “SSTP” (“Sarjana Sains Terapan Pemerintahan”). Lulusan atau alumni STPDN diharapkan memiliki tiga kompetensi dasar yaitu:
  • Kepemimpinan (Leadership),
  • Kepelayanan (Stewardship),
  • Kenegarawanan (Statemanship).
Setelah terjadi kasus kekerasan pada praja Wahyu Hidayat yang menyebabkannya meninggal dunia, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri akhirnya memutuskan melebur Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dalam wadah baru bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2005. Perubahan yang diatur Keppres Nomor 87/2004 tentang Penggabungan STPDN dan IIP dan Permen Dalam Negeri No. 29 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN, sebenarnya sudah dirancang sejak 1998 karena ada aturan yang membatasi setiap departemen hanya memiliki satu pendidikan kedinasan.
Pada 10 Oktober 2007, IPDN kembali diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), namun IIP yang baru ini tidak akan hanya mempunyai kampus di Jatinangor, melainkan juga di beberapa daerah lain seperti Bukittinggi (Sumatera Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pekanbaru (Riau), Manado (Sulawesi Utara) IIP juga akan berbeda dari IPDN dari segi sistem pendidikannya, meskipun pada saat keputusan perubahan ini diambil sistem pendidikan yang baru tersebut belum diatur secara terinci

SEMOGA BERMANFAAT